Posted by : Lukman Khakim
Senin, 27 Mei 2013
Entah apa yang saya perbuat, sekarang sariawan bersarang di bibir saya. Sariawan itu perih, gak enak buat makan, gak enak buat ngomong, dan gak enak buat ngerjain soal kalkulus, oke kalau yang soal kalkulus itu emang selalu gak enak, hehehe. Bukan tanpa usaha saya menangani sariawan ini, sudah datang ke berbagai rumah sakit walaupun cuma lewat depannya doang, sudah datang ke klinik dikampus yaa walaupun cuma lewat pas mau kuliah, udah datang ke temen saya yang katanya orang pinter, eh ternyata dia emang bener-bener orang pinter, maksudnya pinter ngerjain soal kalkulus., dari kesemua usaha saya di atas, belum juga terlihat hasilnya, akhirnya saya memutuskan untuk membeli obat saja, semoga Allah meridhoinya dan sariawan ini lekas diberikan kesembuhan. Aaamiiin
Ngomong-ngomong soal sariawan, saya selalu jadi keinget jaman-jaman lulus SMA dan lagi berusaha belajar sekuat tenaga buat nyari kuliahan. Maksudnya adalah dulu pas masa-masa itu saya sedang sariawan juga, semua dilakukan bersama sariawan yang selalu setia menemaniku waktu itu. Belajar ditemani sariawan, baca buku ditemani sariawan, ngerjain soal SNMPTN ditemani sariawan, ngerjain tes STIS juga sama sariawan, bahkan saat saya sariawan pun ditemani oleh sariawan. Emang setia banget.
Dengan pengalaman yang begituan, saya jadi teringat dulu waktu masih berjuang memperjuangkan STIS setiap kali sariawan, seperti saat ini. Dulu, bersama teman-teman, kami semangat banget buat belajar, ngerjain soal-soal USM, 1001, 1700, dan buku-buku sejenisnya. Mungkin kalau boleh diperjelas itu sebenernya bukan semangat banget tapi dipaksa buat mau gak mau harus semangat banget, masalahnya ini menyangkut harga diri cooy, ini berurusan sama image kita dipandang oleh orang tua kita. Terpaksa kami harus belajar ekstra siang malam, dilakukan terus dan terus, terus dan terus, hingga pada saatnya itu berubah menjadi bukan sebuah keterpaksaan lagi tapi sebagai kebutuhan, ketika waktu semakin melimit, ketika tanggal SNMPTN semakin mendekat, ketika tanggal tes tahap 1 kian berada di depan mata, tanpa disadari belajar dan berjuang dengan berkorban sudah menjadi kebutuhan, kebuthan untuk memperjuangkan harga diri, berjuang buat kedua orang tua yang selalu mensupport lewat doa. Kami sadar jika peluang kami buat dapet yang kami inginkan itu bukanlah 1, atau mutlaq. Peluang kami bisa diterima di sebuah kuliahan yang kami inginkan itu sama sekali tidak kami ketahui, bisa saja mendekati satu atau bahkan sedikit sekali sampai limit mendekati nol. Apapun itu berapapun itu kami tidak perduli, yang hanya bisa kami lakukan adalah berusaha. Bukanya berapapun peluang itu, itu selalu berhubungan dengan usaha kita? Kami yakin yang usahanya lebih berarti peluangnya lebih, begitu juga sebaliknya. Dari yang awalnya terpaksa harus belajar, seiring waktu berlalu mulai timbul tanggung jawab dalam diri kami untuk memperjuangkannya dengan baik, toh hasil sesungguhnya itu buat kami, bukan buat orang tua atau orang lain.
Mimpi kita tidak besar, tidak istimewa, mungkin bisa dipandang kecil bagi sebagian orang. Tapi apa perduli kami terhadap hal tersebut, toh hasil sendiri akan dinikmati diri sendiri. Mimpi saya mungkin hanya untuk kuliah, dimanapun itu yang penting sesuai dengan yang orang tua saya doakan. Saya inget, orang tua saya tidak mendoakan saya untuk dapat diterima di sebuah kuliahan tertentu, tidak juga menuntut saya untuk kuliah di tempat tertentu. Hanya saja, mereka menginginkan saya mendapatkan yang terbaik bagi saya, dan itu memang benar-benar saya inginkan, mendapatkan sesuatu yang terbaik bagi saya, ternyaman, dan tersesuai dengan keadaan.
Tanpa terasa, waktu itu sudah berlalu, sudah berlalu 1 tahun yang lalu. Sekarang, tinggal kesempatan buat adik-adik kelas memperjuangkan mimpinya. Dan tepat hari ini, pengumuman SNMPTN adik-adik dilaksanakan. Dimanapun tujuan mereka saya doakan yang mereka dapatkan itu yang terbaik bagi mereka. Dimanapun tujuan mereka, saya yakin asal diperjuangkan dengan sungguh-sungguh, hasilnya tidak mengecewakan. Berjuang memang susah, apalagi untuk sebuah hal yang belum bisa ditentukan kepastiannya, tapi itu hal wajib yang mutlaq harus dilakukan seseorang untuk mencapai tujuan. Kita hidup di dunia nyata, bukan di dunia dongeng.
Sariawan itu emang perih, gak enak buat makan, gak enak buat ngomong, gak enak buat beraktifitas, sakit dan tidak mengenakan, tapi setelah nantinya hal itu sembuh, kamu bisa merasakan kelegaan hidup tanpa sariawan, bisa makan enak, ngomong tanpa terganggu, dan bisa tersenyum lebar tanpa ada rasa mengganjal. Begitu juga dengan belajar memperjuangkan kuliahan, hal itu pada awalnya gak enak, gak enak harus tidur hanya sebentar, gak enak harus selalu mikir tanpa istirahat, gak enak dengan rasa was-was apakah akan diterima atau tidak. Tapi nantinya setelah kita bisa lolos, kita akan merasakan kelegaan hidup tanpa rasa was-was tersebut. Sama seperti pasca sariawan, kita bisa tersenyum lebar tanpa ada rasa mengganjal. Kita tidak tahu apakah hasilnya nanti, yang harus kita tahu adalah usaha, usaha, dan usaha.
Mengenai Saya
- Lukman Khakim
- jakarta, jakarta, Indonesia
- saya bukan tukang parkir. sumpah bang saya bukan tukang parkir, sehingga saya tidak pandai memparkir hati seseorang dan meletakannya di tempat yang benar.