Archive for April 2013
Sayup-sayup suara adzan membangunkanku dari setengah tidur yang sedang dalam tahap asik-asiknya. Baru beberapa menit yang lalu mata terpejam dengan ditemani sarung yang masih terbalut rapi dan baju koko yang belum juga sempet dicopot. sebenarnya tidak ada niatan untuk tidur di jam-jam ini, secara ini abis maghrib, waktunya orang-orang berkumpul dengan keluarga setelah seharian lelah dengan aktifitasnya masing-masing, atau untuk anak kos yang ga ada keluarga di sini, paling tidak berkumpul dengan teman satu kos atau kontrakan setelah seharian lelah menuntut ilmu. #halah, . Atau waktu-waktu seperti ini biasa dimanfaatkan oleh mahasiswa untuk mengaji, menghadiri majelis ta'lim terdekat menimba ilmu agama bersama bapak-bapak komplek. Atau untuk sebagian yang lain memilih untuk mengaji sendiri Al-Quran di kontrakan masing-masing sambil sesekali menengguk air segar dari galon isi ulang 3 ribuan di sampingnya. Atau untuk sebagian yang lain memilih memanfaatkan waktu setelah maghrib untuk mengotak-atik rumus kalkulus yang semakin diotak-atik maka kesimpulannya semakin samar dirasakan. Tetapi mungkin masih menjadi primadona bagi mahasiswa yang telah lelah seharian bergelut dengan buku, memilih mengisi waktu ini dengan menonton TV, sambil tiduran di kasur kesayangan ditemani secangkir teh atau kopi hangat dengan tidak lupa menyalakan laptop dengan modem tertancap membuka menilik beranda facebook membaca-baca status teman atau hanya sekedar komen di foto kelas yang baru diupload. Atau sebagian lain memilih untuk mengisi waktu ini dengan mencari makan berkelana ke warteg-warteg terdekat mengkombinasikan lauk-pauk yang tiap hari juga itu-itu saja dengan nasi porsi kuli, dan tidak lupa apapun makanannya minumnya tetap air putih. Alasan mereka cukup sederhana, menjaga kesehatan, kesehatan dompet yang tak kunjung terisi oleh TID yang semakin seret saja keluarnya.
Untuk malam ini, dari semua pilihan yang saya sebutkan di atas, sayangnya tidak ada yang saya pilih, jadi perlu saya tambahkan lagi untuk aktifitas-aktifitas di atas, tidur. Alasan saya cukup sederhana, ngantuk.
Setelah menata pikiran beberapa menit setelah terbangun oleh suara adzan Isya, saya baru bisa menyimpulkan kalau itu adzan Isya. tadinya saya sempet mengira kalau itu adzan Subuh, tapi kok rasa-rasanya baru tadi saya solat Maghrib, jadi saya simpulkan perkiraan saya salah. baru setelah menilik jam di hp saya bisa menyimpulkan.
Dalam keadaan setengah sadar saya coba mengingat-ingat kegiatan apa yang akan saya lakukan malam ini, baru setelah saya melihat hp dan membaca sms dari Adit, baru saya ingat kalau malam ini mau KSM di tempatnya mister maba Kokom, sepupunya eyang subur. Setelah Isya saya baru teringat akan masalah yang sangat krusial dari sebuah kehidupan manusia, makan. pilah-pilih, mikir, menimbang, mengingat dan memutuskan, saya memutuskan untuk membeli nasi goreng saja untuk menu makan malam ini. di sinilah cerita kami berawal. Di samping gerobak nasi goreng di pinggir got dekat tempat samapah umum seberang kali bening saya bertemu kakak tingkat itu. jangan salah sangka dulu, dia itu cowok. Sama-sama menunggu nasi goreng, kami duduk di kursi plastik yang disediakan. Percakapan dibuka oleh masnya dan membahas tentang LFA tingkat 1, beliaunya sudah tingkat 3. sebelumnya memang kami sudah saling kenal karena sering sholat berjamaah bersama di masjid.
" Gimana LFA nya mes?"
Dalam hati saya berpikir, kok manggilnya mes, siapa saya? jangan-jangan nama saya sudah berubah tanpa sepengetahuan saya. Oh itu tidak mungkin terjadi. Atau jangan-jangan dia bukan bicara kepada saya, Oh itu juga tidak mungkin karena hanya saya yang ada di situ selain pak nasi gorengnya, lagian dia juga berbicara menghadap ke saya. Saya berpikir sebelum menjawab pertanyaanya. Ooooh, mungkin mes itu planggilan gaul dari daerahnya untuk memanggil seorang teman. Kakaknya berasal dari papua, jadi saya gak tau apa bahasa mereka, mungkin mes itu artinya coy kali, atau bro, atau jangan-jangan malah jeng. haha
" yaa, alhamdulillah lancar kak" jawab saya singkat
setelah ngobrol panjang lebar mengenai LFA, kata mes terdengar lagi,
" jadi, seneng main futsal juga mes? kalau mau, kalau sabtu main futsal bareng kami aja buat ngisi waktu, di situ ada rahmat kok sama viki. kenal kan?"
" iya kenal kak, mereka sekelas sama saya"
" oh iya mes?"
.....bla...bla...
Setelah sekian lama menunggu, kumis bertambah panjang, jenggot tumbuh dimana-mana, dan ayam jantan sudah berkokok, akhirnya nasi goreng idaman saya sudah jadi. Begitu juga punya kakaknya, sudah terbungkus rapi di kantong kresek hitam dan disodorkan ke saya. Naah, ini bagian yang paling saya tidak suka dari kegiatan membeli nasi goreng, membayar. dengan sangat terpaksa saya mengeluarkan uang. Jelas ini sangat bertentangan dengan prinsip hidup saya, berhemat. Kakaknya membayar, saya membayar, pak nasi gorengnya juga membayar. #lho
" pulangnya lewat mana mes?" merasa terhormat karena daritadi dipanggil dengan panggilan bahasa gaul yang tidak saya mengerti, saya menjawab dengan singkat
" lewat sini saja kak, sejalan kita"
Di sepanjang perjalanan pulang, kami mengobrol banyak hingga tertuju pada sebuah kalimat yang merubah segalanya.
" Mesa ikut Rohis juga?"
Agak sedikit bingung karena kok panggilan gaul yang tadi diucapkan jadi ada tambahannya menjadi Mesa, apakah memang itu bahasanya, tapi kok itu mirip sama nama temen saya yaa, Mesagus. saya menjawab
" Mesa? Mesa yang ngontrak di sana?" sambil menunjukkan telunjuk.
" iya, "'
" Oh, saya kurang tau kak"
" loh kok kurang tau, lha kamu siapa?"
jleb. " Saya Lukman kak, "
" Oh jadi bukan mesa? tapi selama ini perasaan saya panggil kamu mesa"
" Saya Lukman Khakim kak, saya laki-laki, saya tingkat 1 kuliah di STIS"
....
" Sebentar, kamu tau nama saya kan?" tanya kakak tersebut di tengah-tengah perbincangan.
" Wahduh...hehehehe..oh,,,hehe"
Sambil berjabat tangan, kami memperkenalkan nama masing-masing, seperti baru pertama kenalan, walaupun hampir setiap hari bertemu di masjid dan kadang juga berbincang-bincang membahas kuliah dan sebagainya. Ternyata oh ternyata, saya menjadi orang lain selama ini. Saya menjadi Mesa, dan kakaknya menjadi "no name" di mata saya.
Terlepas dari ketidaktahuan masing-masing nama antara kami, percakapan tercipta seperti layaknya kita sudah saling kenal lama. Saya tidak mempermasalahkan namanya, dan diapun tidak mempermasalhkan siapa saya sebenarnya, dan menganggap saya sebagai Mesa.
Satu hal yang bisa saya katakan dari peristiwa ini adalah, kadang, kita tidak butuh terlalu mengenal siapa orang yang sedang kita hadapi, entah itu dosen, teman, supir busway dll, tetapi terlepas dari itu interaksi tetap harus terjalin seharmonis mungkin. kadang, keingintahuan kita pada seseorang yang malah terkesan mencampuri urusan orang tersebut, justeru membuat orang tersebut terganggu, tidak nyaman, dan interaksi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Bukankan hal yang dicari dari sebuah interaksi adalah rasa nyaman?
sekumpulan anak yang dengan biadabnya berhasil mereaksikan rendaman cucian dengan air seni salah satu dari mereka. Dan mereka sangat bahagia, walaupun berahir dengan air mata. Mungkin karena saking bahagianya. orang tua pelakupun turut hadir ke TKP dan sempat menanyakan "ini cucian bersih apa kotor ya om, sini biar ibu cuciin ga papa?" dengan jiwa kesatria dan penuh tanggung jawab pun saya menjawab "oh itu cucian kotor kok, gak papa bu." sebenarnya secara implisit dalam kalimat terakhir tersebut tersirat harapan ibu pelaku akan menjawab " ga papa dek, sini biar saya cuciin aja gak papa, uang bulanannya masih?kalau kurang bilang sama ibu aja gak usah sungkan(emoticon senyum paling manis)" tetapi manusia hanya bisa berkehendak, dengan tanpa rasa belas kasihan ibu itu menjawab "oh untung aja cucian kotor, kan sayang kalau cucian bersih" udah. iya, udah gitu doang gak lebih. gambar tersebut diambil beberapa saat sebellum proses pengencingan rendaman cucian berlangsung. Paling kanan, bocah berbaju kuning(sebut saja Apiz,-ya, emang itu nama aslinya) terlihat sedang menari samba dengan salahnya. sementara itu bocah botak berbaju biru(Fauzan-bukan nama samaran) sedang berusaha menuju puncak tertinggi dengan sedikit bertingkah kasar pada Inu(bocah cerdas si owe* keluar-keluar). Sedikit prestasi dari Fauzan, sudah beberapa kali berhasil dengan biadabnya mencabut charger laptop yang sedang tanpa baterai, sementara Inu prestasinya sudah tidak diragukan lagi dari makan apel kami sampe menjilat-jilat kaca jendela. back to main topic. terpaksa dengan tidak menghilangkan sikap profesional integritas amanah, cucian yang telah tercampur tersebut saya tangani sendiri (tangani : ya ditangani, bener-bener pake tangan bukan pake kaki apalagi kuping*lho?). Dan untuk sahabat saya Cahyo Wibowo dan Cesc Dwi jangan berbahagia dulu kalian, karena diduga kuat cucian kalian juga ikut terkontaminasi. Dari kejadian ini saya dapat beberapa pesan moral yang sangat berharga antara lain:
#pendidikan karakter usia dini sangat perlu ditekankan kepada anak-anak tidak hanya secara teori dan rumus-rumus, tetapi juga secara praktik dan aplikasi nyata pada masyarakat. Dengan metode ini diharapkan kecerdasan motorik anak akan terangsang berkembang sehingga mereka diharapkan bisa dengan cerdas membedakan mana WC dan mana ember cucian.
#sebenarnya hal semacam ini, rumah kontrakan dikunjungi anak-anak dan sedikit diganggu, sudah sering terjadi. Sekian lama kami(kita dan anak-anak tetangga) bersama, semakin nampak keakraban di antara kami sebagai wartawan dan narasumber, karena pekerjaan mereka adalah menanyakan hal-hal tidak penting yang ada di sekitar kita. seperti "om, ini penggaris om ya?om ini buku om ya..dll", saya berfikir kenapa mereka begitu kritisnya menanyakan hal-hal seperti itu, apakah mereka sebenarnya mata-mata musuh yang sengaja dikirim untuk mengawasi kami?kita tidak pernah tahu. Dari kebersamaan kami selama ini, saya mendapat pelajaran dan mengerti dengan sungguh-sungguh apa yang sebenarnya squidward selama ini rasakan ketika diganggu sposbob dan patrick star.
#hidup adalah perjuangan, I'm genius I'm sirius
#pendidikan karakter usia dini sangat perlu ditekankan kepada anak-anak tidak hanya secara teori dan rumus-rumus, tetapi juga secara praktik dan aplikasi nyata pada masyarakat. Dengan metode ini diharapkan kecerdasan motorik anak akan terangsang berkembang sehingga mereka diharapkan bisa dengan cerdas membedakan mana WC dan mana ember cucian.
#sebenarnya hal semacam ini, rumah kontrakan dikunjungi anak-anak dan sedikit diganggu, sudah sering terjadi. Sekian lama kami(kita dan anak-anak tetangga) bersama, semakin nampak keakraban di antara kami sebagai wartawan dan narasumber, karena pekerjaan mereka adalah menanyakan hal-hal tidak penting yang ada di sekitar kita. seperti "om, ini penggaris om ya?om ini buku om ya..dll", saya berfikir kenapa mereka begitu kritisnya menanyakan hal-hal seperti itu, apakah mereka sebenarnya mata-mata musuh yang sengaja dikirim untuk mengawasi kami?kita tidak pernah tahu. Dari kebersamaan kami selama ini, saya mendapat pelajaran dan mengerti dengan sungguh-sungguh apa yang sebenarnya squidward selama ini rasakan ketika diganggu sposbob dan patrick star.
#hidup adalah perjuangan, I'm genius I'm sirius
Tidakkah kau berpikir kalau waktu sekarang berjalan lebih
cepat? Sepererti jarum jam saling berlomba berputar terus dan terus, berlomba
dengan sesama jarum penunjuk waktu, berusaha mencapai garis finish terlebih dulu. Dan
kau tau bahwa jam itu berwujud lingkaran, tetapi mungkin mereka tidak tau kalau
jam itu berwujud lingkaran. Dengan penuh semangat, jarum jarum tersebut memacu
tenaga maksimalnya untuk sesegera mungkin menyelesaikan tugasnya. Tanpa tau
kalau sebenarnya tidak ada garis finish seperti yang mereka pikirkan. Dengan optimisme
yang tinggi mereka melalui angka demi angka, dari 1, 2, 3,... sampai 12, dan
diulangi lagi dari 1, 2, 3,... sampai 12, begitu seterusnya. Mereka pikir
setelah menyelesaikan beberapa putaran tertentu yang telah digariskan oleh Yang
Maha Mengatur, mereka kemudian bisa beristirahat menikmati hari tua mereka
dengan dana-dana pensiunan yang lebih dari cukup untuk sekedar menikmati
hari-hari tua hingga ajal kemudian menghentikannya.
Itu satu-satunya alasan mengapa mereka berlomba-lomba meacu
kecepatan maksimal mereka dalam menjalankan kewajibanya sebagai penanda waktu. Implikasi
nyata dari perseteruan mereka adalah sangat kita rasakan, sangat kita nikmati,
ratapi, dan hayati. Kau ingin tau apa buktinya? Hey, jangan bercanda, pasti kau
sehari-hari juga bercengkrama dengan fenomena ini. Lihat apa yang seorang anak
katakan sehabis seharian bermain di depan laptop dengan dunia gamenya? Apa yang
seorang ibu katakan setelah seharian ngerumpi dengan geng antar RTnya atau geng
arisan rutin warga atau yang lebih greget lagi dengan geng-geng pengajian
mereka di majelis ta’lim? Apa yang mereka atau saya sebut saja kau katakan
setelah seharian menatapi smartphonemu mengotak-atik ini itu, menambah ini itu,
memainkan game ini itu, atau hanya sekedar seharian memandangi beranda facebook
menunggu pesan atau komenmu dibales sama doi? Bolak-balik membuka tutup kunci
layar hand phone melihat sisi pojok atas apakah ada gambar amplop atau tidak. belum
cukupkah contoh-contoh di atas? Ok fine saya tambahkan karena saya emang orang
baik. pikirkan saja, cukup pikirkan saja, lihat, apa yang kalian termasuk saya
pikirkan setelah seharian bergelut dengan hobi kita, bermain gitar, membaca,
atau asyiknya membicarakan kejelekan orang lain? Saya bilang cukup pikirkan
saja jangan kau ucapkan.
Saya yakin kau setuju bahwa jawaban dari mereka-mereka yang
telah saya sebutkan di atas adalah sama. Yaa, mereka akan sepontan menjawab “perasaan
waktu itu cepet banget ya, baru aja tadi pagi gue bangun pagi nyalain laptop,
eh sekarang udah malem”. Atau mungkin kau akan menemukan jawaban “ini udah
malem? Yaa ampun, keasyikan main gitar gue lupa ngerjain makalah buat dikirim
malem ini. Mana deadline setengah jam lagi dan makalah harus 10 lembar no
copas. Wailaa, cabut nyawakuuu”. Atau yang lebih parah kau akan tersenyum
melihat jawaban bocah cilik ini dengan polosnya menjawab “mama mama, ini udah
maghrib lho kok mama dari siang ngobrol terus sama tante, ngomongin apa si? Kata
papa kan kalo udah adzan suruh ke mesjid sholat bareng-bareng sama tetangga. “.
Ibu paruh baya itu pun menjawab dengan logat jawa kenthelnya dan suara yang
bersahaja menggelegar bahakan mengalahkan nyaringnya suara adzan, “Hussh,
ssssttt,, diem anak kecil, pengin tau urusan orang tua aja. Sholat kan bisa
nanti, kan waktunya masih ada. Ini mama lagi asyik ngobrol hal penting sama
tante”.
Walaupun berbeda-beda masalah mereka tetap sama. Mereka merasakan
waktu itu berjalan menjadi lebih cepat akhir-akhir ini. Tak usah saya bilang
mereka, kita pun sama merasakan hal yang demikian. Akuilah jangan munafik kau. Saat
kesibukan atau keasyikan kita sedang pada puncaknya, seolah mereka, jarum-jarum
penunjuk waktu, menyadari kelengahan kita dan bekerja lebih cepat. Akupun setuju
dengan pendapat mereka.
Baru saja saya melihat acara pas mantab di TV, dan disitu
bintang tamunya juwita bahar. Dia mengatakan sudah dilamar seseorang dan akan
menikah. Terus apa hubunganya dengan waktu? Jelas ada hubungannya, dia baru
berusia 17 tahun dan sudah sedang memikirkan sebuah rencana untuk membangun
sebuah rumah tangga. Tadi sore saya juga melihat berita tentang eyang subur
yang menampakkan wajahnya di layar televisi untuk pertama kali dan beliau
mengucapkan statement-statement pembelaan. Hubungannya dengan waktu adalah dia
sudah tua. Kemarin saya juga ketemu kucing jantan dewasa di depan pintu
kontrakan saat sedang makan siang. Hubungannya dengan waktu adalah kucing
disebut dewasa jika sudah melewati usia tertentu yang itu adalah hanya beberapa
persen saja dari usia dewasa manusia. Dan satu lagi kawan, hampir tiap hari
anak-anak tetangga kontrakan saya berinteraksi dengan saya. Tidak jarang mereka
main masuk ke kontrakan. Mereka baru berusia 5 tahunan.
Yang ingin saya katakan disini adalah tentang waktu. Tentang
kecurangan aparat penentu waktu atau dalam hal ini jarum-jarum jam itu
melaksanakan tugasnya. Tentang berhasilnya proses pemuaian waktu di pikiran
kita. Lihat, betapa cepatnya juwita bahar sudah memikirkan masalah pernikahan,
sedangkan saya di sini sedang memikirkan masalah makan malam nanti mau di
warteg mana. Betapa cepatnya waktu bergulir hingga eyang subur sudah menjadi
tua dan masih saja semangat memperjuangkan keyakinannya. Lihat, betapa cepatnya
seekor kucing sudah menjadi dewasa padahal kemarin sore dia sedang bermain
bersama ibunya dan masih minum susu dari induknya. Dan lihat betapa cepatnya
waktu bergulir di depan mata kita sehingga generasi-generasi baru sudah
bermunculan seperti anak-anak tetangga kontrakan saya itu. Dan kelak mereka
juga berpikir betapa cepat waktu bergulir sehingga masa-masa kanak-kanak mereka
sudah hilang, berganti dengan masa-masa dewasa yang penuh dengan lika-liku
kehidupan. Betapa cepat waktu itu berhasil menipu kita sehingga kita tidak
melakukan apa-apa di saat waktu semakin kencang berlari menertawai kita.
Jika tidak ada yang bisa disalahkan dari kecurangan para
jarum-jarum jam itu, maka satu-satunya yang bisa disalahkan adalah kita sebagai
manusia yang mengkonsumsi waktu tanpa henti. Pertanyaan terbesar yang ingin
saya tanyakan kepada diri saya sendiri adalah, apa yang telah kau lakukan saat
waktu itu terus bergerak? Apa yang telah kau berikan pada dirimu, orang lain,
lingkungan, dan kepada Tuhan ketika waktu tak henti terus berlari? Salah apa
yang telah kau perbuat sehingga kemudian kau tersadar penuh penyesalan saat
waktu, sekali lagi, tak pernah lelah untuk berpindah? Dan apa yang telah kau
rencanakan untuk mengisi waktu beberapa waktu ke depan yang tentunya kau tahu
bahwa besok waktu itu akan semakin gila berlari di jalan bebas hambatan, ?
jawab jika kau ingin menjawabnya.
Waktu, kita, mereka, dimensi tempat kita berpijak, itu semua
mutlaq milik Alloh, jadi satu-satunya kegiatan yang harus kita laksanakan
adalah berbuat baik kepada Sang Pemilik Segalanya. Menurut saya caranya adalah
dengan melaksanakan kewajiban kita sesuai kodrat kita, dengan tulus ikhlas dan
tanpa keluar dari jalan yang semestinya. Kalau tidak begitu maka kau sudah tahu
jawabanya, suatu hari kau akan menyesal karena menyia-nyiakan waktu dan tidak
berpikir ketika kau menghambur-hamburkanya. Dan saat itu aku, kau, dan seekor
kucing pun tau apa yang sedang terjadi . waktu semakin jauh meninggalkanmu
bersama dengan kesalahanmu. Dunia terlalu jauh untuk kau kejar bahkan hanya
untuk kau berlari di sampingnya. Kau semakin tenggelam, tenggelam, dan hanyut
pada dimensimu sendiri. Jadi sudah jelas kawan, hargai waktumu.
(episode 4 epilog)
Alhamdulillah semua
acara melelahkan seperti pencarian sponsor, penyewaan gedung sekolah,
sosialisasi, pengumpulan uang peserta TO, pencarian peserta, penyetakan soal,
dan lari keliling alun-alun sambil bawa kursi masing-masing dan mendribel bola
pimpong pake kaki (namanya juga kegiatan melelahkan) telah selesai. Dan yang
paling penting acara inti TO NAS USM STIS cabang IKMKK bagian Kabupaten Kebumen
telah berhasil dilaksanakan. Saya hanya ingin berbagi cerita bukan untuk
dijadikan sebuah bahan bacaan tetapi lebih ke proses perekakman kejadian yang
telah sama-sama kita laksanakan. Suatu saat mungkin kita ingin sedikit
mengenang saat-saat melelahkan tapi asyik ketika kita melaksanakan sosialisasi
dan Try Out di kampung halaman. Suatu saat mungkin kau akan tersenyum mengenag
betapa alaynya kita saat ini. Atau suatu saat kita butuh mereview
kejadian-kejadian atau kegagalan-kegagalan di masa lampau untuk terus melakukan
perbaikan di kegiatan-kegiatan serupa di masa yang akan datang. Mungkin ini
tidak banyak membantu tetapi paling tidak diharapkan bisa membuka memori-memori
kita akan hal-hal alay di masa sekarang untuk sekedar dikenang atau bahkan
untuk dijadikan pelajaran di masa depan. Tentu bukan orang lain yang tahu apa
yang kita rasakan tetapi kita sendirilah yang tahu persis apa yang kita rasakan
saat ini. Jadi, kita hanya butuh sedikit stimulus untuk kita bisa mengenang
hal-hal yang telah kita lalui. Semoga ini bisa jadi stimulus bagi kita, dan
kemudian kita sendirilah yang akan merangkai memori-memori menjadi sebuah
cerita yang pantas untuk dikenang bersama-sama dengan tawa dan senyum manis
terlukis di wajah kita masing-masing.
***
Totalnya kami telah melaksanakan sosialisasi di 9 SMA
di kebumen. Sebenarnya ada 12 SMA yang kami datangi tetapi 3 di antaranya menolak
untuk dilaksanakannya sosialisasi di sekolah mereka, alasanya sama, “ maaf mas,
jadwal untuk kelas 12 udah padat banget. Jadi udah gak bisa ada sosialisasi di
sini. Takutnya waktu mereka untuk belajar terganggu. Kan UN udah deket banget.”
memang sih, 45-60 menit itu sangat berharga banget bagi orang yang lagi
belajar. Untuk ndengerin mp3 yang baru didownload atau untuk tidur misalnya.
Saya sangat paham karena saya juga pernah merasakan euforia UN. Jadi tak apalah
kami tidak melaksanakan sosialisasi di 3 sekolah tersebut, toh masih ada 9 SMA
lainnya yang jika seluruh murid SMA IPA kelas 3 nya ikut TO NAS USM STIS di
Kebumen, jumlah mereka juga sudah cukup bisa membuat panitia kewalahan. Iya,
memang ekspektasi kita pada jumlah peserta itu tinggi. Tinggi, tinggi sekali.
Bahkan saya sudah memprediksi bahwa ketika setiap selesai sosialisasi dan
keluar dari ruang kelas mereka, di belakang kami ada puluhan bahkan ratusan
siswa SMA mengejar-ngejar kita berebutan untuk mendaftar ikutan TO. Awalnya
mereka hanya lari-lari kecil sambil memanggil “kak, mau daftar” . Tetapi sesaat
kemudian pelari pendaftar tersebut bertambah jumlah. Bertambah terus, dan
bertambah terus. Sadar jalan mereka terhalangi oleh calon peserta lain, mereka
pun saling menyikut untuk menyingkirkan lawan. Kami pun mempercepat langkah
untuk menyelamatkan diri. Mereka semakin ganas. Ketika saya melihat ke
belakang, ada beberapa siswa yang sudah tergeletak tak berdaya tersingkirkan
oleh calon peserta lain tersikut-sikut penuh luka tusuk. Beberapa saat
kemudian, polisi datang mengamankan situasi. Sungguh, ekspektasi yang sangat
mulia. Saya tersenyum ketakutan membayangkan hal tersebut. Saya juga
memprediksikan kami akan kewalahan mengurusi percetakan soal di hari H karena
saking banyaknya pendaftar on the spot yang datang. Bukan bermaksud apa-apa,
saya hanya berfikir optimis. Tapi kenyataan berkata lain. Tidak ada
kejar-kejaran seperti yang saya bayangkan. Boro-boro untuk berebutan, bahkan
ada beberapa sekolah yang sampai hari H tidak ada yang mendaftar. Total seluruh
peserta hanya sekitar 60an, dan ada 1 tiket on the spot yang terjual. Iya,
hanya satu. Tetapi saya sangat maklum dengan keadaan tersebut. Mingkin memang
hanya sedikit dari mereka yang minat masuk STIS. Penyebab lain adalah TO
dilakasanakan satu hari sebelum anak kelas 12 di Kebumen melaksanakan Ujian
Akhir Sekolah. Jadi pantas-pantas saja banyak yang malas ikut TO, lebih baik
waktu digunakan untuk belajar. Menyelesaikan membaca LKS-LKS yang belum selesai
dibaca. Hal yang perlu diperhatikan jika ingin melaksanakan hal semacam ini di
kemudian hari adalah wajib melakukan singkronisasi dengan jadwal anak SMA yang
bersangkutan. Dari yang awalnya optimis, di kemudian hari saya menjadi pesimis.
Pesimis karena tidak menutup kemungkinan bahwa nantinya kami harus iuran
sejumlah uang untu menutup defisit keuangan yang dialami. Wailaa, TID aja baru
keluar udah harus dikeluarkan lagi. Tetapi kami bersyukur karena ada beberapa
sponsor yang mau bekerja sama dengan acara kami. Hal yang perlu diperhatikan lagi
masalah sponsorship adalah harus dipersiapkan secara benar-benar matang untuk
masalah ini. Jika perlu harus dilakukan koreksi ulang beberapa kali untuk hal
seperti proposal atau sebagainya. Itu bisa dilakukan jika kami sudah begerak
dari jauh-jauh hari sebelum pelaksanan. Kegiatan yang dilakukan pada pencarian
sponsor adalah menawarkan kerja sama dengan pihak lain. Jadi harus bener-bener
maksimal untuk mendapatkannya, karena ini melibatkan beberapa pihak di luar
kita.
Hari H pun datang, panitia sudah bersiap dari pagi
untuk mempersiapkan semuanya.
Dari seluruh peserta yang mendaftar ada dua
diantaranya yang berasal dari Cilacap. Saya salut dengan keduanya yang rela
jauh-jauh ke Kebumen untuk ikutan TO, saya tidak yakin jika itu dulu terjadi
pada saya saya akan ikut TO. Asal mereka paling jauh diantara yang lain, tetapi
datangnya mereka paling awal dari yang lain. Mungkin dari pagi-pagi hari sekali
mereka sudah bangun mempersiapkan semuanya. Luar biasa. Walaupun dengan jumlah
peserta yang sedikit, tetapi saya yakin itu tidak mematahkan semangat mereka
untuk mengerjakan soal TO yang akan diberikan. Kedatangan mereka adalah
indikator dari persiapan mereka pada Ujian Sekolah dan Ujian Nasional. Saya
tidak mengatakan bahwa mereka yang tidak datang adalah belum siap, tetapi saya
mengatakan mereka yang datang mungkin saja karena mereka sudah siap untuk Ujian
Sekolah pagi hari berikutnya dan tidak takut akan hilangnya waktu karena
mengikuti TO. Acara dimulai dengan daftar ulang peserta yaitu dengan menukarkan
kwitansi pembayaran mereka dengan pin hasil karya Cahyo sebagai
kenang-kenangan. Daftar ulang dimulai pukul 7.15 dan diakhiri pada pukul 8.00.
Karena jumlah peserta tidak terlalu banyak, kamipun tidak kewalahan
melaksanakanya. Mr.Yapong dan teman-teman panitia pun tidak kewalahan mengurusi
masalah parkir-memarkir. Peserta dengan senyum ucapan selamat pagipun dengan
antrian rapi mengisi lembar daftar ulang. Pukul 8.05 Dwi, petugas pemencet bel
baru membunyikan belnya. Seluruh pesertapun memasuki ruangan. Mas Jupe membacakan
aturan pelaksanaa test lewat mikrofon di ruang guru yang tersambung ke setiap
kelas agar terkesan seperti ini USM sesungguhnya. Pembacaan aturan pelaksanaan
test selesai, peserta mulai mengerjakan soal Matematika. Sementara itu terlihat
sekumpulan peseta baru datang setelah bel dimulainya pengerjaan soal
dibunyikan. Saya yakin mereka itu telatan kalau berangkat sekolah seperti saya.
Selama pengerjaan soal berlangsung, saya dan beberapa
teman saya yang tidak kebagian tugas mengawasi ruangan test berkeliling ruangan
test untuk hunting foto yang rencananya nantinya akan ditampilkan di akhir
acara. Kami menangkap beberapa face bingung, semangat, optimis, santai, pasrah,
saat peserta mengerjakan soal. dalam hati saya berkata “ enak juga ya jadi
pengawas ujian, melihat berbagai macam ekspresi menghadapi soal yang sama.”
Beberapa di antaranya mengeluarkan ekspresi dan pose yang mengundang tawa.
Dengan tidak menimbulkan banyak suara karena takut mengganggu konsenterasi
mereka, saya mengabadikan ekspresi mereka dengan sebuah kamera digital di
tangan.
Pojok kiri atas, cowok berbaju batik terlihat santai
mengerjakan soal TO. “ soalnya gini doang? Gampang banget. “ Cowok berjaket
biru yang mirip sama Lukman NOAH terlihat sangat optimis sekali dan yakin akan
menjadi juara nasional. “ Gue emang genius, gue pasti bisa melahap seluruh
soal-soal ini!!huahaha..” beberapa saat kemudian kertas teks soalnya
bener-bener dilahap habis sama dia. “Soal apaan nih, gue makan sekalian nih
soal. laper”. Cowok gempal berjaket hitam terlihat awalnya menatap soal dengan
optimis. Tetapi bebarapa saat kemudian dia meletakkan kepalanya di meja
beralaskan tanganya. ( kanan ). Mungkin dia sedang berkata “ Ya tuhan,
ampunilah hambamu ini. Cobaan apa lagi yang Engkau berikan? Emak, maafkan anakmu
ini.” (jaket hitam dari Cilacap : peace, ini Cuma bercanda). Sementara itu,
Arissandi, smansa, bawah cowok jaket hitam terlihat melatakkan kedua tangannya
di kepala. Karena dulu saya satu kos sama dia, saya tahu apa yang dia pikirkan.
“ waduh, jemurankuuuu..tolong Ya Alloh..”. Hal tersebut juga dilakukan oleh
Dito, berkacamata pake jam tangan, walaupun hanya satu tangan yang dia letakkan
di kepala. Mungkin dia juga sedang kepikiran tentang jemurannya di rumah. Cowok
berkacamata di bawah gambar dito, terlihat sedang menghisap-hisap pensilnya.
Mungkin saking seriusnya, dia sampai lupa yang mana pensil, yang mana sedotan
teh kotak sosro. Samping kiri arissandi, anak smansa ini terlihat sedang
menggerakkan badanya ke kiri. Mungkin dia sedang meregangkan badanya setelah
capek bergelut dengan soal. memang bung, soalnya butuh usaha keras untuk
mengerjakan soalnya. Pojok kiri bawah, cewek berkerudung putih malah terlihat
bete ngerjain soalnya, mungkin terlalu mudah buat dia. Sementara itu, Wildan,
anaknya Pak Wahyu, terlihat dengan santainya mengerjakan soal dengan tanpa alas
kaki. Mungkin dia ingin menujukkan kalau telapak kakinya itu seksi. “Im sexy
and I know it”.
Acara pengerjaan soalpun selesai, seluruh peserta
digiring menuju aula yang sudah dipersiapkan untuk mengikuti acara pembahasan
atau sekedar sharring untuk refresshing. Ruangan aula terlihat terlalu besar
untuk jumlah peserta sedikit ini. Kursi-kursi plastik ditata rapi menyambut
kedatangan mereka. Ada sebuah papan tulis putih dan seperangkat viewer di depan
aula. Papan tulis digunakan untuk pembahasan soal yang ditanyakan, dan viewer
digunakan untuk menampilkan foto-foto mereka. Mereka tertawa lebar melihat
ekspresi-ekspresi lucu mereka sendiri. Bahkan mungkin mereka ada yang berkata “
tidaaak, itu bukan saya, sumpah!.” Acara yang awalnya direncanakan untuk
pembahasan soal yang ditanyakan, berubah menjadi acara sharring dan tanya jawab
seputar STIS karena hanya ada satu peserta yang menanyakan soal. (Syukron
Nursalim, SMANSA). Acara banyak diisi oleh Mba Ratna, tingkat 4. Mbanya memang
cocok untuk mengisi acara semacam ini karena sudah lebih banyak makan asam
garam dibandingkan kami. ( asam garam : asam dicampur sama garam terus dimakan,
meringis. Hiii ). Acara selesai pukul 1.00 siang, pesertapu pulang ke rumah
masing-masing. Entah sampai sekarang sudah sampai rumah atau belum saya tidak
tahu karena mereka tidak pernah melaporkannya kepada kami.
Kami, panitia tetap tinggal di tempat untuk langsung
mengentri jawaban adek-adek peserta. Jadi, sore itu hasil dan rangking mereka
tingkat Kabupaten sudah didapatkan. Tetapi kami putuskan untuk tidak mempublish
hal tersebut terlebih dahulu dan menunggu pengumuman skala nasioanal diumumkan.
Alasan kami cukup simpel, biar greget.
Sore pun datang, capek pun tidak ikut ketinggalan,
ikut datang bersama selesainya tugas-tugas kami. Tugas kami selesai. Saya
berdoa dalam hati, semoga capeknya kami tidak sia-sia, walaupun tidak dapat
apa-apa dari acara ini, tetapi semoga mereka, peserta, dapat hadiah yang
sebenarnya lebih berharga dari hadiah utama TO NAS: pengalaman. Sehingga
nantinya ketika mereka ada yang mengikuti USM yang sesungguhnya, bisa dengan
lancar mengerjakannya, dan deterima di STIS bergabung bersama kami di Jakarta.
Waktu semakin sore, kami pulang ke rumah masing-masing.
(episode 3 feel like home)
Sadar atau tidak, banyak sekali hal-hal yang tidak penting di
sekitar kita yang entah kenapa jika kita mulai memikirkanya kita akan sulit
move on dari topik tersebut. Katakanlah ketika kita kepikiran jika kita
memasukkan kalpanax ke dalam oseng jamur apakah jamur oseng tersebut akan
lenyap? Atau ketika memikirkan apakah ada kuman di sabun anti kuman? Kan anti
kuman. Atau juga ketika kita kepikiran tentang dengan siapa Tuan Krab
menjalin cinta sehingga dia memiliki anak seekor paus betina berbadan subur?
Atau hal yang paling klasik yaitu ketika kita berdebat tentang siapa yang
muncul terlebih dulu antara ayam dan telur. Iya, sejak TK saya belum menemukan
jawaban dengan alasan yang bisa diterima secara akal sehat. Jadi, sampai
sekarang saya masih percaya teori yang saya kembangkan sendiri yaitu ayam
adalah yang muncul terlebih dulu. Dia mungkin adik sulung dari Pearl-krabs anak
Tuan Krab yang jarang diekspos publik. Yaa, kenapa tidak? Untuk mempunyai anak
seekor paus berbadan besar saja Tuan Krab mampu apalagi seekor anak ayam yang
imut lucu unyu-unyu ngegemesin baik hati murah cenyum celallu thayang dia
pholepelll. (haha, if you know what I mean)
Reaksi dan ekspresi orang juga berbeda-beda ketika memikirkan
hal-hal gak penting tersebut. Seperti “sudahlah gak usah dipikirin, gak
penting” sedetik kemudian “apa ya?hmm” (memiringkan kepala sedikit ke kiri dan
melirik ke atas) dan kemudian “gak penting lah, ngapain dipikirin terus”
sedetik kemudian “hmmm..apa iya?” begitu seterusnya sampai akhir hayat.
Ekspresi yang sama sering saya lihat ketika orang yang belum tahu tentang STIS
bertanya kepada saya “Kuliah di mana?” atau “Dari mana mas?”. Saya pun menjawab
“Kuliah di STIS pak, bu.” Mereka pun kebanyakan menanggapi “ Oh, STIS. iya.
Iya.” Hening sejenak tetapi tersungging senyum di wajah saya karena bangga dia
(penanya) tahu tentang STIS. Dua detik kemudian “STIS itu apa ya?” atau pernah
juga “STIS itu yang bekerja di kesehatan ya?” atau yang paling parah “Hmm bagus
tuh, syukurlah sudah bisa dapet kuliahan bagus, jarang lho anak muda yang punya
cita-cita jadi guru kaya njenengan (anda). Hihi”.
Hening.
Masih hening.
Bentar, sabar, masih bener-bener hening.-_-
Dan kejadian seperti itu tidak hanya terjadi di
kalangan rumah dari para tetangga nenek-nenek yang belum pernah kuliah, tetapi
juga di sekolah-sekolah yang notabene adalah lingkungan kalangan terpelajar.
Hal itu terjadi ketika kemarin saya dan teman-teman melaksanakan sosialisasi
STIS dan TONAS di SMA-SMA di Kebumen. Jadi ceritanya beberapa minggu yang lalu
yaitu ketika minggu tenang sebelum UAS saya dan teman-teman mahasiswa STIS dari
Kebumen pulang kampung dan main ke SMA-SMA untuk menawarkan sosialisasi
sekalian iklan TONAS. Saya, Dwi, Cahyo, dan Husni dengan santainya pulang
kampung ketika teman-teman yang lain lagi pada serius-seriusnya belajar
mendalami materi untuk UAS. Singkat kata singkat cerita kami sudah tiba di
Kebumen, kampung halaman saya. Kunjungan pertama kami lakukan di hari kedua
karena hari pertama dimanfaatkan untuk istirahat dan menikmati waktu di rumah
bercengkrama dengan tetangga. Bayar utang atau nagih utang misalnya. Saya,
Cahyo, Dwi janjian untuk berkumpul di rumah Cahyo pukul 8.00 WIB (Waktu
Indonesia Banget), sementara Husni nantinya akan dijemput Dwi setelah kami
bertiga berkumpul. Niatnya nantinya saya dan Cahyo akan pergi ke SMA-SMA bagian
barat Kebumen, dan Dwi dan Husni akan menjamah bagian timur. Karena kami
mengikuti madzhab Waktu Indonesia Banget, maka dengan muka cerah tanpa rasa
bersalah dan dengan menjunjung tinggi sikap profesional, integritas, amanah
pukul 11.00 siang kami sudah stay di Cahyo’s house. (hebat, hanya ngaret 3 jam
saja. Iya, cuma 3 jam kok gak lebih ). Setelah selasai mengurusi urusan
administrasi (menghabiskan minuman dan makanan yang disuguhkan untuk kami di
rumah Cahyo), kami pun siap melaksanakan aksi pertama. Sementara itu, saking
lamanya menunggu, Husni di rumah sudah penuh uban dan jenggot putih yang
panjanya melebihi tinggi badannya. Belakangan saya ketahui dia sudah siap
menunggu dengan sudah berseragam PDA lengkap sejak pukul 7 pagi. Akhirnya kami
pun berpisah setelah keluar dari rumah Cahyo. Saya dan Cahyo menuju SMA N 1
Karanganyar, sedangkan Dwi meluncur ke rumah Husni yang jaraknya setengah jam
kecepatan cahaya dari rumah Cahyo. Tidak ada hal spesial terjadi di Saka (SMA N
1 Karanganyar). Alhamdulillah kami diterima layaknya manusia pada umumnya di
Saka terlebih ibunya Cahyo adalah salah satu guru di sekolah ini. Perjalanan
dilanjutkan ke Sago (Gombong) dengan ekspektasi akan deperlakukan sama seperti
di Saka. Tetapi takdir berkata lain, kami tidak diizinkan melakukan sosialisasi
dan iklan TONAS di sana dengan alasan jadwal anak kelas 3 Ipa sudah sangat
padat untuk beberapa minggu ke depan. Walaupun ada sedikit rasa kecewa, tetapi
saya sadar kalau the show must go on. Kami lanjutkan perjalanan ke SMA**
(**piiip**).
Ada sedikit sensasi dan perasaan berbeda ketika
kami berada dan beraksi di sekolah ini. Kesan pertama adalah kami kesulitan
menemukan hal paling penting dan seharusnya paling mudah ditemukan untuk sebuah
sekolah: pintu gerbang. Keadaan depan sekolah yang sedang direnovasi
mengakibatkan kami berputar-putar bolak-balik seperti bola pinbal di sekitar
sekolah. Akhirnya setelah mendapat solusi dari klinik Tong Feng, kami berhasil
menemukan sebuah pintu gerbang kecil yang alih fungsi menjadi pintu gerbang
utama yang sebenarnya pintu ini sudah kami lewati tadi ketika kami pertama tiba
di sekolah ini. Sial. Kesan pertama memasuki bangunan sekolah ini adalah sejuk,
adem, dan yang unik adalah karena kontur tanah yang tidak rata gedung-gedung
terlihat ada yang di atas dan di bawah. Siswanya ramah-ramah menyambut
kedatangan kami dengan senyum hormat penuh kehangatan. Kami balas dengan senyum
lebih hangat dipadukan dengan gerakan-gerakan tari tor-tor dicampur dengan
gamnamstyle dengan kaki tak berhenti bershuffle ria. Senyum hormat mereka
berganti dengan menempelkan satu jari telunjuk mereka dalam posisi horisontal
di dahi, mungkin artinya “wow, kereeen”. “terimakasih” jawab saya dalam hati.
Setelah beberapa langkah memasuki bangunan sekolah, kami putuskan untuk
bertanya kepada salah satu siswa tentang keberadaan ruang guru atau ruang TU.
Dia menjawab dengan mengacungkan tangan ke bangunan yang dimaksud “itu, di atas
sana”. Wah enak juga ya punya sekolah di dekat pegunungan begini. Mungkin kalau
saya bertanya di mana letak WC akan dijawab “itu di bawah sana”. Di mana lab
komputer? Itu di atas gedung ijo itu sampingnya tebing. Di mana perpustakaan
dek? itu di atas kawah. Di mana tempat parkirnya dek? Itu di atas awan. (ini
sekolah apa kuil udara Aang?). Sesampainya di ruangan, kami disambut oleh
ibu-ibu muda yang beberapa saat kemudian dia baru sadar kalau masih ada
hubungan silsilah keluarga dengan Cahyo. Kami dipersilahkan duduk dan disambut
ramah petugas-petugas lain yang ada di ruangan. Ruangan cukup adem meski tanpa
AC. Ada beberapa meja kerja terjejer rapi dengan penunggunya masing-masing yang
sedang sibuk dengan pekerjaanya masing-masing. Terdapat seperangkat meubel dan
mejanya di tengah-tengah ruangan. Di situlah kami diterima sebagai tamu oleh
bapak-bapak paruh baya agak sedikit botak yang bermuka ramah.
“Jadi bagaimana mas, anda dari mana dan ada
perlu apa datang ke sekolah ini?”
“ kami dari STIS Sekolah Tinggi Ilmu Statistik
pak.”
Dengan senyum kebapak-bapakan dia menjawab “
Oooh..STIS, hehehe”
Kami membalas dengan anggukan disertai senyum
ramah.
Satu detik kemudian “ STIS itu apa ya?”
-_-
“itu emotikon apa ya?”#lho...
“jadi STIS itu sekolah tinggi kedinasan yang
ada di jakarta timur....bla...bla.tujuan kami adalah bla..bla..bla”
Bapaknya mengangguk penuh pengertian. Saya
nggak yakin dia tahu apa yang berusan teman saya katakan. Beberapa saat
kemudian perbincangan kami yang sedang asyik terganggu oleh kedatangan orang
yang sebenarnya kami cari: waka kurikulum.
Waka : ada apa pak? Ada tamu siapa?
Pak yg tadi: Ooh, ini ada tamu mahasiswa dari
STIKES mau ijin sosialisasi di sekolah ini.
Kami: STIS pak, Sekolah Tinggi Ilmu Statistik
Waka: ooh yaya, silahkan duduk silahkan duduk.
.(udah dari tadi pak). Sebentar ya saya ada urusan sebentar
Tinggalah kami di sini bersama pak yang tadi.
Obrolan dilanjutkan dengan basa-basi belaka. Sebenarnya saya ingin mengusulkan
topik pembicaraan basa-basi dengan topik naruto shippuden. (namanya juga basa-basi).
Tetapi belum saya lancarkan niat saya, obrolan yang sudah semakin basa-basi ini
kembali terganggu dengan datangnya orang lain.
Pak yang datang: ada apa pak?ada tamu siapa?
Pak yg tadi: Ooh, ini ada tamu mahasiswa dari
STIKES mau ijin sosialisasi di sekolah ini.
Kami: ES TE I ES pak. ES TE I ES pak bukan
STIKES.
Keadaan jiwa saya mulai tergoncang dengan
STIKESnya pak-pak ini. Saya berani menjamin jika perbincangan dilakukan outdoor
di lapangan basket misalnya, kami akan menari pica-pica sambil meneriak-riakan
“ES-TE-I-ES Sekolah Tinggi Ilmu Statistik Jakarta...” supaya bapak ini
mempercayai keaslian kami berasal dari STIS Jakarta. Kemudian setelah kami
benarkan menjadi STIS pak-pak yg tadi berkata “Ooh, STIS yang ada di Kebumen
itu kan?”
...gubrak...
Kami: bukan pak, kampus kami gak ada yang di
Kebumen sumpah pak. Kami gak boong pak. Kami gak berniat jahat pak. Percayalah
pada kami pak. Kasianilah kami. TID 3 bulan belum keluar pak. Kami asli dari
STIS Jakarta pak, ini KTM saya kalau perlu.
Pak yg tadi: Ooh STIS Jakarta, bilang yaa dari
tadi (dengan ekspresi muka menyalahkan).
Kami: (menari pica-pica beneran)
***
Tidak hanya di sekolah ini saja kejadian
semacam ini tejadi. Yang saya maksud dengan kejadian semacam ini adalah
kejadian-kejadian yang menimbulkan pertanyaan mengapa, apakah, bagaimana STIS
bisa tidak dikenali oleh beberapa pihak. Di sekolah lain yang tidak saya
sebutkan namanya hal semacam ini terjadi. Ceritanya saya dan Dwi datang ke
salah satu sekolah SMA di Kebumen untuk minta izin sosialisasi. Ketika itu kami
diterima langsung oleh Ibu Kepala Sekolah (Kepala Sekolah yang berwujud
ibu-ibu) di ruangannya. Beliau ramah, murah senyum dan enak diajak ngobrol.
Tetapi karena memang tujuan kami ke sini bukan oriented untuk ngobrol semata,
kami pun tidak menghabiskan banyak waktu untuk ngobrol ngalor-ngidul, tidak
banyak basa-basi yang terjadi. Setelah disepakati hari sosialisasi dan iklan
TO, barulah ada sedikit basa-basi hanya sekedar untuk mengisi waktu. Kan tidak
etis kalau ketika kesepakatan hari sosialisasi tercapai, kami langsung lari ke
luar ruangan dengan tidak menghadap ke belakang dan menuju parkiran dilanjutkan
kabur tanpa jejak. Obrolan terjalin sangat inten, kami saling jawab-menjawab
dan sahut-menyahut. Bener-bener percakapan dua arah yang ideal.
Ibu : Hmm, enak ya..bisa kuliah gratis.
Sekarang kan kuliah di mana-mana mahal biayanya, jadi sekalian bantu
meringankan beban orang tua.
Kami : nggih bu.
Ibu : tapi denger-denger ada sistem DO ya mas,
harus hati-hati tuh. Kasian kan orang tua kalian jika kalian gagal gara-gara
DO.
Kami : nggih bu.
Ibu : pasti kecewa berat lah seorang orang tua
kalau anaknya gagal dan di DO gara-gara tidak mampu mengikuti kuliah,
Kami : nggih bu.
Ibu : sodara ibu juga ada tuh yang kuliah di
SeTIS kaya mas-mas sekalian, tapi sekarang udah penempatan kerja. Jadi mungkin
kalian tidak mengenalnya.
Kami : oh, nggih bu.
Ibu : iya, dulu anaknya rajin dan ulet. Dulu
kuliahnya di jogja
Dwi : nggih bu,
Saya : lho, jogja bu? Wi, ibu bilangnya jogja
bukan jakarta.
Ibu : iya di Jogja.
Kami : ???
Atau di salah satu sekolah lain
Kami : selamat pagi bu..
Ibu : oh iya silahkan masuk, masnya dari mana
ya?
Saya : kami dari STIS bu,
Ibu : Hmmm...(memiringkan kepala ke kiri dan
sedikit melirik ke atas)
Dwi : ES TE I ES bu, sekolah tinggi ilmu
statistik
Ibu : Hmmm....(ganti memiringkan kepala ke
kanan dengan tetap sedikit melirik ke atas)
Saya : Setis bu Setis
Ibu : Ooooh, dari SeTIS, yang sekolah kedinasan
itu kan? Yang statistik-statistik gitu kan? Monggo monggo silahkan duduk..
Dan banyak hal-hal lain semacam ini yang
terjadi ketika saya pulang ke kampung halaman.
***
(kembali ke sekolah tadi yang kontur tanahnya
tidak rata)
Bapak waka kurikulum pun selesai dengan pekerjaanya.
Dia masuk dan bergabung bersama kami. Berbeda dengan pak yg tadi, dia tahu apa
itu STIS. Kami sujud syukur di tempat. Kesepakatan hari sosialisasipun
disepakati. Setelah itu kami pamit dan melanjutkan perjalanan. Di perjalanan
saya berpikir mengenai keeksisan keberadaan STIS di Indonesia. Kenapa banyak
yang nggak tahu tentang STIS. Apakah begitu tidak terkenalnya sampai-sampai
banyak orang yang tidak tahu tentang STIS. STIS yang sudah 54 tahun sangat
kalah tenar dengan Iqbal CJR. Miris. Tetapi saya jadi juga berpikir tentang apa
pengaruh ketenaran universitas terhadap semangat belajar yang timbul. Apakah
jika dulu saya diterima di universitas ternama lantas saya akan berubah total
menjadi kutu buku? Penuh semangat untuk mempelajari sesuatu? Saya sendiri juga
tidak yakin. Tetapi dengan diterimanya saya di perkuliahan yang bukan nomor
satu di negeri ini dalam hal ketenaran menjadikan saya merasakan ada motivasi
tersendiri yang mendorong saya untuk terus belajar. Belajar kehidupan pada
orang-orang luar biasa dari seluruh Indonesia. Mungkin Tuhan telah mengabulkan
doa orang tua saya dulu yaitu untuk memberikan universitas/perkuliahan yang
terbaik buat saya. Mungkin dulu ini bukan pilihan utama saya, tetapi saya
sekarang yakin kalau dulu saya memang hanya butuh waktu sedikit lebih lama
untuk meyakinkan diri saya kalau ini yang terbaik. Untuk meyakinkan diri saya
kalau orang tua apapun doanya pasti mereka mendoakan yang terbaik bagi kita.
Tidak perlu mereka ikut ribut-ribut mencari bimbel terbaik buat kita dengan
harapan kita bisa diterima di universitas terbaik, tetapi doa mereka itu sudah
lebih dari cukup. Bahkan bisa melebihi pengaruh bimbel terbaik di negeri ini.
Saya melamun di boncengan belakang motor yang saat itu Cahyo yang
mengemudikanya. Lamunan saya terbuyarkan dengan suara klakson motor di
belakang. Perjalanan dilanjutkan.
***
Sementara itu di tempat lain Husni dan Dwi
masih menjalankan kegiatannya. Tujuan saya dan Cahyo selanjutnya adalah SMANSA
Kebumen, sekolah kami dulu. Ada perasaan berbeda ketika saya akan mengunjungi
mantan sekolah saya dulu. Sekolah yang dulu kami banga-banggakan. Ada perasaan
grogi, senang bercampur jadi satu. Memori-memori SMA kembali tertata rapi di
benak saya. Kami tiba di sekolah. Ada yang berbeda, pintu gerbang pindah ke
bagian timur sekolah karena pintu gerbang utama sedang dibangun. Tetapi paling
tidak pintu gerbang ini tidak sulit untuk ditemukan. Semua masih tetap sama
setelah sekian lama saya tidak datang ke sekolah ini. Senyuman Pak Satpam masih
tetap sama seperti dulu menyambut di pintu masuk. Perasaan memasuki sekolah
juga masih tetap sama seperti dulu ketika saya masih sekolah di tempat ini,
berasa seperti ini masih sekolah saya. Memasuki pintu gerbang ada beberapa guru
yang sudah hendak pulang karena saat itu memang kami datang setelah bel pulang
sekolah. Mereka menyambut, kami bersalaman. Tidak hanya guru-guru tetapi juga
pak penjaga sekolah kami salami juga. Setelah ngobrol sedikit, kami langsung
menuju ke ruang guru untuk menemui Pak Wahyu, waka kurikulum, guru matematika
kami dulu. Dikarenakan ruang guru sedang direnovasi, ruangan berpindah ke ruang
kelas kami dulu kelas 12. Walaupun sedikit kecewa karena ruangan kelas saya
dipakai jadi ruang guru, kami tetap memasuki ruangan. Maksudnya jika ruang
kelas masih tetap seperti dulu kan makin lengkap acara nostalgia kami. Di ruang
guru masih terdapat banyak guru yang belum pulang, termasuk pak Wahyu. Kami
memasuki ruangan. Agak sedikit kaget karena kedatangan kami yang berseragam
berbeda dengan dulu yang masih SMA, mereka menyambut dengan berbagai perkataan.
“eh mas Cahyo gagah ya pake seragam” atau “mas lukman, itu celananya celana
OSIS SMA ya?” atau “ eh mas lukman sekarang udah gedhe ya, dulu pas saya ajar
kelas X masih kecil banget” (jangan bayangkan saya dulu hanya sebesar biji
kacang, kecil banget), dan berbagai kata-kata lain. Seluruh guru yang ada di
ruangan kami salami. Jika diambil gambar mungkin ini lebih mirip acara
salam-salaman lebaran atau acara pertemuan keluarga besar.
Bertemu Pak Wahyu, permintaan izin pun
dilakukan.
Cahyo : jadi gimana pak, kami diijinkan
sosialisasi di sini kan?
Pak Wahyu : Boleeh, boleeh.
Cahyo : tanggal 23 besok bisa pak?
Pak Wahyu : Bisaa, bisaa
Bu SL : kalo dari STIS malah sudah ditunggu
mas,
Cahyo : hehehe
Kesepakatan secara amat sangat singkat
didapatkan, sesingkat datangnya kembali memori-memori SMA kami di pikiran kami
saat kami berkunjung ke sekolah ini. It feels like home, when I’m standing
here. Setelah berbicara masalah sosialisasi, kami pun ngobrol-ngobrol dengan
bapak ibu guru sampai lupa waktu. Semakin lama saya berbincang dengan mereka,
semakin terasa jelas perasaan kalau saya masih sekolah di sini. Saya bisa
mengingat dengan jelas bagaimana mereka memperlakukan saya ketika pukul 08.30
saya baru mencapai sekolah dan memasuki kelas yang sudah dimulai dari pukul
07.00. Saya bisa mengingat dengan jelas pula bagaimana rasanya duduk di luar
pintu gerbang sekolah sendirian menunggu pintu gerbang dibuka, yaa karena
datang terlambat. Saya bisa mengingat dengan jelas bagaimana mereka mengajar,
bagaimana mereka membuat lelucon, bagaimana kami mengabaikan mereka dengan
tidak memperhatikan mereka bicara di depan kelas, bagaimana rasanya memakai
seragam identitas, dan memori-memori lain yang tertata rapi muncul di kepala.
Setelah puas bernostalgia di ruang guru, kami lanjut ke kantin bertemu dengan
bu kantin, pak penjaga sekolah, dan mbak-mbak kopersi sekolah, mereka juga kami
rindukan. Saya dan Cahyo makan di kantin yang rasa masakanya masih sama seperti
dulu sambil menunggu Husni dan Dwi yang sedang menuju ke sekolah ini. Saya
merasa beruntung mendapat jatah datang ke sekolah ini. Setidaknya saya memiliki
waktu lebih lama dari mereka berada di sini untuk mengenang masa-masa sekolah
dulu.
***
Masa muda. Masa yang berapi-api!!
(episode 2 style)
Berawal dari kalimat “bagaikan kacang lupa kulitnya” dan “air
susu dibalas dengan air tuba” yang membuat dan mengharuskan saya untuk
bersemangat sosialisasi ke adek-adek SMA, pindah dari satu SMA ke SMA lain
untuk sekedar sharing dan diskusi tentang dunia perkuliahan yang sebenarnya
juga masih sangat baru bagi kami, semuanya tetap harus dilakukan dengan tidak
setengah-setengah. Apalagi sosialisasiadalah salah satu media iklan juga bagi
kami yang sedang gencar-gencarnya melaksanakan TO Nasional yang digagas UKM
bimbel di STIS. Dari sini saya jadi tahu kalau memang ngomong di depan banyak
orang itu susah. Tidak boleh asal ceplas-ceplos seperti ketika kita berbicara
dengan teman di kantin. Sepertinya memang mau tidak mau kita harus memikirkan
dua kali kalimat apa yang akan kita ucapkan di depan banyak orang. Salah-salah
ucap bisa harga diri kita yang yang akan hilang dari muka bumi untuk
selama-lamanya. Seperti ketika kita akan mencairkan suasana kelas dengan
melontarkan sedikit lelucon kepada audience, mau tidak mau kita juga harus
memikirkan apakah hal tersebut akan menjadi pencair suasana atau malah akan
berakibat pada terbangnya buku-buku LKS adek-adek yang menyoraki
ke-krik-krik-an kita. (“ Haha krik-krik banget, lucune, bali bae bali
lah..haha.”)
Jika kita telaah, untuk sebuah lelucon saja kita dipaksa
untuk memikirkan hal tersebut matang-matang, apalagi untuk materi-materi serius
yang harus kita jelaskan kepada banyak orang yang semuanya itu belum kita
kenal, tentu cara menyampaikan dan cara mengekspresikan maksud dari materi
tersebut harus kita pikirkan tidak cukup hanya dua kali, dua setengah kali
kalau perlu.
Dari beberapa kali sosialisasi yang sudah saya
dan teman-teman lakukan saya mengerti kalau cara orang mengatakan suatu hal
yang sama itu berbeda-beda. Setiap orang punya style masing-masing. Cahyo
dengan muka murah senyumnya yang seperti penyambut tamu di pestsa pernikahan
yang mengatakan “oh ya silahkan ibu” mempresentasikan materinya dengan
gerakan-gerakan tangan sepereti orang lagi nyanyi ngerap. Mungkin jika Bondan
Prakoso melihat Cahyo dari kejauhan, tanpa ragu lagi dia akan merekrut Cahyo ke
dalam Fade to Black nya. Husni dengan muka inocent nya selalu berhasil menyampaikan
materi dengan sedikit lelucon yang akan mencairkan suasana. Dengan muka cueknya
yang mungkin mengisyaratkan “ini gue lagi presentasi, lu mau ndengerin silahkan
ga juga gapapa” dia selalu berhasil menarik perhatian setiap penjuru kelas
hingga semua mata tertuju padanya. Entah karena mereka sedang memikirkan apakah
Husni berasal dari Konoha atau negara pasir? saya tidak tahu, yang penting
mereka dengan seksama memperhatikan Husni. Lain lagi dengan Tyas yang ketika
sakit suaranya seperti bayi tiga tahun yang menangis minta susu pada ibunya
karena sudah empat tahun belum minum susu. Sungguh tidak ada kecocokan antara
gaya tomboynya dengan suara yang mirip menangisnya itu. Mungkin dia
berkepribadian ganda yaitu antara cewek tomboy dengan bayi bisulan. (peace
tyas..). Tika yang hobi nulis ini mempresentasikan materi dengan
kalimat-kalimat sederhana tapi efektif dan tentunya dengan suara lirihnya.
Saking lirihnya mungkin kau akan mengira dia sedang nyanyi nina bobo dan sesaat
kemudian semua akan tertidur..tidurlaaah..tidu rlaaah. Saya mengira karena
hobi menulis dia juga akan menjawab pertanyaan adek-adek dengan tulisan yang
langsung dipostingnya di blog. “hmm, jawaban pertanyaan kalian sudah saya
posting di blog, silahkan dibaca.” Tetapi dengan gayanya menyampaikan sesuatu,
semua memperhatikan apa yang dia katakan. Nisa, dalam gambar malah terlihat
seperti guru TK 0 besar sedang mengajari anak-anak didiknya menyanyi. Saya
tidak tau lagu apa yang sedang diajarkan oleh Nisa, tapi saya prediksi itu
lagunya Wali, Bukan Bang Toyib. Mas Jupe (Julias Penatus Utama) banyak mengisi
materi presentasi dengan gaya seperti motivator dan bahasa yang agak sedikit
lebih berat dari pada lainya. Saya paham dengan keadaan tersebut karena dia
sendiri adalah Wakil Ketua SEMA STIS, jadi maklum saja gayanya seperti itu.
Kebawa-bawa masa ketika dia masih kampanye pemilihan SEMA, setiap akhir kalimat
selalu ditambahkan kalimat “setujuu.!!”, seperti yang dia lakukan ketika
pemilihan SEMA beberapa waktu lalu. Mungkin seperti ini, “selamat siang
adek-adek? Setujuu...!!”, “wah, cuacanya panas sekali ya, setujuu!!”, “wah,
saya ganteng yaa..setujuu..!!”, sebagai adik kelas yang baik dan menjunjung
tinggi senioritas, ratisaa dan yapong dari belakang kelas menjawab dengan
lantang “setujuu..!!”. (oke, kalo yang ini bercanda).
Leylia Hari Kartika atau lebih sering dikenal
dengan nama lele mempresentasikan materinya dengan gaya,....dengan gaya.....,
deng..an..yaa namanya juga lele, yaa dengan gaya lele. Kalian bisa bayangkan
bagaimana dia mempresentasikan materinya, mungkin dengan menggoyangkan badanya
ke kanan ke kiri, mengibas-ngibaskan ekornya, dan sedikit menggerakkan kumisnya
bergantian kanan dan kiri dari dalam air. Oh, itu ikan lele ding. Hehe. Mba
Nurul dengan gaya keibuanya mempresentasikan dengan gaya yang emang bener-bener
ibu-ibu. Saya tidak mendengar apa yang dia katakan, karena hanya melihat secara
sekilas, tetapi sebagai sahabat saya bisa menerka apa yang sedang dia katakan.
Mungkin semacam “nak, ibu sudah tua, kalian tolong yang dewasa yaa, hematlah
dalam berbelanja dan jangan lupa menyiram WC setelah dipakai”, atau semacam
kalimat “nak, ayo cepat mandi!! Sudah Maghrib!”.
Setiap orang memang punya gaya masing-masing
dalam mempresentasikan materinya. Seperti saya yang selalu nervous setiap kali
pertama masuk ruang kelas. Adek-adek SMA yang imut-imut terlihat seperti
pasukan babilonia dengan senjata lengkapnya siap menyerang. Lantai keramik
bersih kelas mereka selalu terlihat seperti bongkahan-bongkahan es yang sangat
dingin. Butuh usaha keras dan extra hati-hati untuk bisa mendapat perhatian dan
bisa mencairkan suasana. Baru setelah suasana sedikit lebih cair saya bisa
dengan leluarsa menyampaikan materi. Saya sedikit prihatin dengan keadaan diri
saya yang gampang sekali menjadi grogi ketika berhadapan dengan orang banyak
apalagi kalau disuruh ngomong. Dari sini saya jadi pesimis dengan cita-cita
saya menjadi presiden dan memutuskan untuk merubah cita-cita ke jenjang yang
lebih rendah. Jadi bidan atau suster mungkin. wkwk (wekaweka). Tetapi emang
pengalaman itu guru yang terbaik. Dari pengalaman saya belajar bahwa suasana
itu akan cair ketika kita sudah berhasil membuat audience ketawa. Dengan
sedikat lelucon atau bahkan sedikit tingkah bodoh di depan kelas mereka bisa
tertawa. Dengan bisa membuat mereka tertawa, secara tidak sadar kita sudah
memaksa mereka untuk memperhatikan kita. Dan mereka emang dengan muka polosnya
memperhatikan kita yang sudah berhasil membuat mereka tertawa. Dari sini saya
jadi berandai-andai jika suatu saat saya menjadi menteri pandidikan, semua
buku-buku pelajaran akan saya kemas dalam format yang sedikit berbeda yaitu
lebih interaktif dan sedikit lelucon. Misalnya dalam awal bab integral ditulis
kalimat “kali ini babnya integral lho,:D sudah belajar kan? sudah dong
wkwk..tenang aja babnya gampang kok, aku aja dulu Cuma remidi sekali
doang:p..blablabla), yang penting di akhir kalimat selalu ada emot-emot lucu
agar terkesan lebih akrab atau jika tidak, harus ada wkwk, hehe, atau haha,
atau bahkan ciuz mi apah jika diperlukan. Dengan demikian niscaya buku akan
selalu menjadi pusat perhatian anak-anak. Bukan Cuma anak-anak, perubahan juga
akan terjadi pada ibu-ibu yang pada awalnya menggosip tentang kawin-cerai artis
ibukota, berubah topik menjadi membahas pembuktian rumus integral, limit dan
kekontinuan dan fungsi komposisi. Veny rose pun alih pekerjaan menjadi penjual
buku loak di pasar senen karena acara gosip yang dibawakannya di stasiun TV
bangkrut. Back to the main topic. Perhatian tidak hanya bisa didapatkan dengan
melontarkan lelucon, kalian bisa nari tor-tor di depan kelas, gangnam style
rame-rame, atau bahkan senam poco-poco sambil mempresentasikan materi jika
perlu. Yaa, namanya juga jika perlu.
Berbeda dengan kita-kita yang lain yang pada
umumnya mempresentasikan materi dengan berbicara di depan kelas, Mr.Yapong
memilih untuk stay cool di belakang kelas. Jarang dia terlihat di depan kelas,
sekalinya ngomong di depan kelas yaitu ketika kelasnya sudah kosong. Walaupun
angin badai mengamuk-amuk, halilintar menyambar, dan rambut Sahrini terurai
cetar membahana badai, dia tetap di belakang kelas. Hanya naluri alamiahnya
yang bisa membawa dia ke depan kelas, dan dengan gaya cool nya dia ngomong di
depan. Semua terpesona hingga tanpa sadar dia sudah berada di belakang kelas
lagi. Luar biasa!
Untuk teman-teman lain karena belum pernah
melihat secara langsung penampilan kalian, saya jadi tidak bisa mendeskripsikan
performance kalian. Tetapi saya yakin dengan gaya masing-masing setiap orang
akan berusaha mati-matian agar terlihat lebih baik ketika berbicara di depan
banyak orang. Bukan masalah males tidaknya kita harus ngomong di depan banyak
orang, tetapi ini lebih terkesan menjadi persoalan harga diri. Tidak ada
seorangpun yang rela harga dirinya jatuh gara-gara kesalahan yang dilakukan
oleh dirinya sendiri. Tidak perlu meniru gaya orang lain, kita sudah punya gaya
kita masing-masing. Yang terpenting adalah jujur dan apa adanya. Misalnya jujur
ketika sesi perkenalan.”Nama saya Yanto, biasa dipanggil Natasya, hobi saya
main boneka dan eksperimen dengan bulu mata”.(emang terlalu jujur sih).
Well, setiap orang itu unik dengan gayanya
masing-masing.
Salam sukses!!!
Mengenai Saya
- Lukman Khakim
- jakarta, jakarta, Indonesia
- saya bukan tukang parkir. sumpah bang saya bukan tukang parkir, sehingga saya tidak pandai memparkir hati seseorang dan meletakannya di tempat yang benar.