Posted by : Lukman Khakim
Kamis, 18 April 2013
(episode 3 feel like home)
Sadar atau tidak, banyak sekali hal-hal yang tidak penting di
sekitar kita yang entah kenapa jika kita mulai memikirkanya kita akan sulit
move on dari topik tersebut. Katakanlah ketika kita kepikiran jika kita
memasukkan kalpanax ke dalam oseng jamur apakah jamur oseng tersebut akan
lenyap? Atau ketika memikirkan apakah ada kuman di sabun anti kuman? Kan anti
kuman. Atau juga ketika kita kepikiran tentang dengan siapa Tuan Krab
menjalin cinta sehingga dia memiliki anak seekor paus betina berbadan subur?
Atau hal yang paling klasik yaitu ketika kita berdebat tentang siapa yang
muncul terlebih dulu antara ayam dan telur. Iya, sejak TK saya belum menemukan
jawaban dengan alasan yang bisa diterima secara akal sehat. Jadi, sampai
sekarang saya masih percaya teori yang saya kembangkan sendiri yaitu ayam
adalah yang muncul terlebih dulu. Dia mungkin adik sulung dari Pearl-krabs anak
Tuan Krab yang jarang diekspos publik. Yaa, kenapa tidak? Untuk mempunyai anak
seekor paus berbadan besar saja Tuan Krab mampu apalagi seekor anak ayam yang
imut lucu unyu-unyu ngegemesin baik hati murah cenyum celallu thayang dia
pholepelll. (haha, if you know what I mean)
Reaksi dan ekspresi orang juga berbeda-beda ketika memikirkan
hal-hal gak penting tersebut. Seperti “sudahlah gak usah dipikirin, gak
penting” sedetik kemudian “apa ya?hmm” (memiringkan kepala sedikit ke kiri dan
melirik ke atas) dan kemudian “gak penting lah, ngapain dipikirin terus”
sedetik kemudian “hmmm..apa iya?” begitu seterusnya sampai akhir hayat.
Ekspresi yang sama sering saya lihat ketika orang yang belum tahu tentang STIS
bertanya kepada saya “Kuliah di mana?” atau “Dari mana mas?”. Saya pun menjawab
“Kuliah di STIS pak, bu.” Mereka pun kebanyakan menanggapi “ Oh, STIS. iya.
Iya.” Hening sejenak tetapi tersungging senyum di wajah saya karena bangga dia
(penanya) tahu tentang STIS. Dua detik kemudian “STIS itu apa ya?” atau pernah
juga “STIS itu yang bekerja di kesehatan ya?” atau yang paling parah “Hmm bagus
tuh, syukurlah sudah bisa dapet kuliahan bagus, jarang lho anak muda yang punya
cita-cita jadi guru kaya njenengan (anda). Hihi”.
Hening.
Masih hening.
Bentar, sabar, masih bener-bener hening.-_-
Dan kejadian seperti itu tidak hanya terjadi di
kalangan rumah dari para tetangga nenek-nenek yang belum pernah kuliah, tetapi
juga di sekolah-sekolah yang notabene adalah lingkungan kalangan terpelajar.
Hal itu terjadi ketika kemarin saya dan teman-teman melaksanakan sosialisasi
STIS dan TONAS di SMA-SMA di Kebumen. Jadi ceritanya beberapa minggu yang lalu
yaitu ketika minggu tenang sebelum UAS saya dan teman-teman mahasiswa STIS dari
Kebumen pulang kampung dan main ke SMA-SMA untuk menawarkan sosialisasi
sekalian iklan TONAS. Saya, Dwi, Cahyo, dan Husni dengan santainya pulang
kampung ketika teman-teman yang lain lagi pada serius-seriusnya belajar
mendalami materi untuk UAS. Singkat kata singkat cerita kami sudah tiba di
Kebumen, kampung halaman saya. Kunjungan pertama kami lakukan di hari kedua
karena hari pertama dimanfaatkan untuk istirahat dan menikmati waktu di rumah
bercengkrama dengan tetangga. Bayar utang atau nagih utang misalnya. Saya,
Cahyo, Dwi janjian untuk berkumpul di rumah Cahyo pukul 8.00 WIB (Waktu
Indonesia Banget), sementara Husni nantinya akan dijemput Dwi setelah kami
bertiga berkumpul. Niatnya nantinya saya dan Cahyo akan pergi ke SMA-SMA bagian
barat Kebumen, dan Dwi dan Husni akan menjamah bagian timur. Karena kami
mengikuti madzhab Waktu Indonesia Banget, maka dengan muka cerah tanpa rasa
bersalah dan dengan menjunjung tinggi sikap profesional, integritas, amanah
pukul 11.00 siang kami sudah stay di Cahyo’s house. (hebat, hanya ngaret 3 jam
saja. Iya, cuma 3 jam kok gak lebih ). Setelah selasai mengurusi urusan
administrasi (menghabiskan minuman dan makanan yang disuguhkan untuk kami di
rumah Cahyo), kami pun siap melaksanakan aksi pertama. Sementara itu, saking
lamanya menunggu, Husni di rumah sudah penuh uban dan jenggot putih yang
panjanya melebihi tinggi badannya. Belakangan saya ketahui dia sudah siap
menunggu dengan sudah berseragam PDA lengkap sejak pukul 7 pagi. Akhirnya kami
pun berpisah setelah keluar dari rumah Cahyo. Saya dan Cahyo menuju SMA N 1
Karanganyar, sedangkan Dwi meluncur ke rumah Husni yang jaraknya setengah jam
kecepatan cahaya dari rumah Cahyo. Tidak ada hal spesial terjadi di Saka (SMA N
1 Karanganyar). Alhamdulillah kami diterima layaknya manusia pada umumnya di
Saka terlebih ibunya Cahyo adalah salah satu guru di sekolah ini. Perjalanan
dilanjutkan ke Sago (Gombong) dengan ekspektasi akan deperlakukan sama seperti
di Saka. Tetapi takdir berkata lain, kami tidak diizinkan melakukan sosialisasi
dan iklan TONAS di sana dengan alasan jadwal anak kelas 3 Ipa sudah sangat
padat untuk beberapa minggu ke depan. Walaupun ada sedikit rasa kecewa, tetapi
saya sadar kalau the show must go on. Kami lanjutkan perjalanan ke SMA**
(**piiip**).
Ada sedikit sensasi dan perasaan berbeda ketika
kami berada dan beraksi di sekolah ini. Kesan pertama adalah kami kesulitan
menemukan hal paling penting dan seharusnya paling mudah ditemukan untuk sebuah
sekolah: pintu gerbang. Keadaan depan sekolah yang sedang direnovasi
mengakibatkan kami berputar-putar bolak-balik seperti bola pinbal di sekitar
sekolah. Akhirnya setelah mendapat solusi dari klinik Tong Feng, kami berhasil
menemukan sebuah pintu gerbang kecil yang alih fungsi menjadi pintu gerbang
utama yang sebenarnya pintu ini sudah kami lewati tadi ketika kami pertama tiba
di sekolah ini. Sial. Kesan pertama memasuki bangunan sekolah ini adalah sejuk,
adem, dan yang unik adalah karena kontur tanah yang tidak rata gedung-gedung
terlihat ada yang di atas dan di bawah. Siswanya ramah-ramah menyambut
kedatangan kami dengan senyum hormat penuh kehangatan. Kami balas dengan senyum
lebih hangat dipadukan dengan gerakan-gerakan tari tor-tor dicampur dengan
gamnamstyle dengan kaki tak berhenti bershuffle ria. Senyum hormat mereka
berganti dengan menempelkan satu jari telunjuk mereka dalam posisi horisontal
di dahi, mungkin artinya “wow, kereeen”. “terimakasih” jawab saya dalam hati.
Setelah beberapa langkah memasuki bangunan sekolah, kami putuskan untuk
bertanya kepada salah satu siswa tentang keberadaan ruang guru atau ruang TU.
Dia menjawab dengan mengacungkan tangan ke bangunan yang dimaksud “itu, di atas
sana”. Wah enak juga ya punya sekolah di dekat pegunungan begini. Mungkin kalau
saya bertanya di mana letak WC akan dijawab “itu di bawah sana”. Di mana lab
komputer? Itu di atas gedung ijo itu sampingnya tebing. Di mana perpustakaan
dek? itu di atas kawah. Di mana tempat parkirnya dek? Itu di atas awan. (ini
sekolah apa kuil udara Aang?). Sesampainya di ruangan, kami disambut oleh
ibu-ibu muda yang beberapa saat kemudian dia baru sadar kalau masih ada
hubungan silsilah keluarga dengan Cahyo. Kami dipersilahkan duduk dan disambut
ramah petugas-petugas lain yang ada di ruangan. Ruangan cukup adem meski tanpa
AC. Ada beberapa meja kerja terjejer rapi dengan penunggunya masing-masing yang
sedang sibuk dengan pekerjaanya masing-masing. Terdapat seperangkat meubel dan
mejanya di tengah-tengah ruangan. Di situlah kami diterima sebagai tamu oleh
bapak-bapak paruh baya agak sedikit botak yang bermuka ramah.
“Jadi bagaimana mas, anda dari mana dan ada
perlu apa datang ke sekolah ini?”
“ kami dari STIS Sekolah Tinggi Ilmu Statistik
pak.”
Dengan senyum kebapak-bapakan dia menjawab “
Oooh..STIS, hehehe”
Kami membalas dengan anggukan disertai senyum
ramah.
Satu detik kemudian “ STIS itu apa ya?”
-_-
“itu emotikon apa ya?”#lho...
“jadi STIS itu sekolah tinggi kedinasan yang
ada di jakarta timur....bla...bla.tujuan kami adalah bla..bla..bla”
Bapaknya mengangguk penuh pengertian. Saya
nggak yakin dia tahu apa yang berusan teman saya katakan. Beberapa saat
kemudian perbincangan kami yang sedang asyik terganggu oleh kedatangan orang
yang sebenarnya kami cari: waka kurikulum.
Waka : ada apa pak? Ada tamu siapa?
Pak yg tadi: Ooh, ini ada tamu mahasiswa dari
STIKES mau ijin sosialisasi di sekolah ini.
Kami: STIS pak, Sekolah Tinggi Ilmu Statistik
Waka: ooh yaya, silahkan duduk silahkan duduk.
.(udah dari tadi pak). Sebentar ya saya ada urusan sebentar
Tinggalah kami di sini bersama pak yang tadi.
Obrolan dilanjutkan dengan basa-basi belaka. Sebenarnya saya ingin mengusulkan
topik pembicaraan basa-basi dengan topik naruto shippuden. (namanya juga basa-basi).
Tetapi belum saya lancarkan niat saya, obrolan yang sudah semakin basa-basi ini
kembali terganggu dengan datangnya orang lain.
Pak yang datang: ada apa pak?ada tamu siapa?
Pak yg tadi: Ooh, ini ada tamu mahasiswa dari
STIKES mau ijin sosialisasi di sekolah ini.
Kami: ES TE I ES pak. ES TE I ES pak bukan
STIKES.
Keadaan jiwa saya mulai tergoncang dengan
STIKESnya pak-pak ini. Saya berani menjamin jika perbincangan dilakukan outdoor
di lapangan basket misalnya, kami akan menari pica-pica sambil meneriak-riakan
“ES-TE-I-ES Sekolah Tinggi Ilmu Statistik Jakarta...” supaya bapak ini
mempercayai keaslian kami berasal dari STIS Jakarta. Kemudian setelah kami
benarkan menjadi STIS pak-pak yg tadi berkata “Ooh, STIS yang ada di Kebumen
itu kan?”
...gubrak...
Kami: bukan pak, kampus kami gak ada yang di
Kebumen sumpah pak. Kami gak boong pak. Kami gak berniat jahat pak. Percayalah
pada kami pak. Kasianilah kami. TID 3 bulan belum keluar pak. Kami asli dari
STIS Jakarta pak, ini KTM saya kalau perlu.
Pak yg tadi: Ooh STIS Jakarta, bilang yaa dari
tadi (dengan ekspresi muka menyalahkan).
Kami: (menari pica-pica beneran)
***
Tidak hanya di sekolah ini saja kejadian
semacam ini tejadi. Yang saya maksud dengan kejadian semacam ini adalah
kejadian-kejadian yang menimbulkan pertanyaan mengapa, apakah, bagaimana STIS
bisa tidak dikenali oleh beberapa pihak. Di sekolah lain yang tidak saya
sebutkan namanya hal semacam ini terjadi. Ceritanya saya dan Dwi datang ke
salah satu sekolah SMA di Kebumen untuk minta izin sosialisasi. Ketika itu kami
diterima langsung oleh Ibu Kepala Sekolah (Kepala Sekolah yang berwujud
ibu-ibu) di ruangannya. Beliau ramah, murah senyum dan enak diajak ngobrol.
Tetapi karena memang tujuan kami ke sini bukan oriented untuk ngobrol semata,
kami pun tidak menghabiskan banyak waktu untuk ngobrol ngalor-ngidul, tidak
banyak basa-basi yang terjadi. Setelah disepakati hari sosialisasi dan iklan
TO, barulah ada sedikit basa-basi hanya sekedar untuk mengisi waktu. Kan tidak
etis kalau ketika kesepakatan hari sosialisasi tercapai, kami langsung lari ke
luar ruangan dengan tidak menghadap ke belakang dan menuju parkiran dilanjutkan
kabur tanpa jejak. Obrolan terjalin sangat inten, kami saling jawab-menjawab
dan sahut-menyahut. Bener-bener percakapan dua arah yang ideal.
Ibu : Hmm, enak ya..bisa kuliah gratis.
Sekarang kan kuliah di mana-mana mahal biayanya, jadi sekalian bantu
meringankan beban orang tua.
Kami : nggih bu.
Ibu : tapi denger-denger ada sistem DO ya mas,
harus hati-hati tuh. Kasian kan orang tua kalian jika kalian gagal gara-gara
DO.
Kami : nggih bu.
Ibu : pasti kecewa berat lah seorang orang tua
kalau anaknya gagal dan di DO gara-gara tidak mampu mengikuti kuliah,
Kami : nggih bu.
Ibu : sodara ibu juga ada tuh yang kuliah di
SeTIS kaya mas-mas sekalian, tapi sekarang udah penempatan kerja. Jadi mungkin
kalian tidak mengenalnya.
Kami : oh, nggih bu.
Ibu : iya, dulu anaknya rajin dan ulet. Dulu
kuliahnya di jogja
Dwi : nggih bu,
Saya : lho, jogja bu? Wi, ibu bilangnya jogja
bukan jakarta.
Ibu : iya di Jogja.
Kami : ???
Atau di salah satu sekolah lain
Kami : selamat pagi bu..
Ibu : oh iya silahkan masuk, masnya dari mana
ya?
Saya : kami dari STIS bu,
Ibu : Hmmm...(memiringkan kepala ke kiri dan
sedikit melirik ke atas)
Dwi : ES TE I ES bu, sekolah tinggi ilmu
statistik
Ibu : Hmmm....(ganti memiringkan kepala ke
kanan dengan tetap sedikit melirik ke atas)
Saya : Setis bu Setis
Ibu : Ooooh, dari SeTIS, yang sekolah kedinasan
itu kan? Yang statistik-statistik gitu kan? Monggo monggo silahkan duduk..
Dan banyak hal-hal lain semacam ini yang
terjadi ketika saya pulang ke kampung halaman.
***
(kembali ke sekolah tadi yang kontur tanahnya
tidak rata)
Bapak waka kurikulum pun selesai dengan pekerjaanya.
Dia masuk dan bergabung bersama kami. Berbeda dengan pak yg tadi, dia tahu apa
itu STIS. Kami sujud syukur di tempat. Kesepakatan hari sosialisasipun
disepakati. Setelah itu kami pamit dan melanjutkan perjalanan. Di perjalanan
saya berpikir mengenai keeksisan keberadaan STIS di Indonesia. Kenapa banyak
yang nggak tahu tentang STIS. Apakah begitu tidak terkenalnya sampai-sampai
banyak orang yang tidak tahu tentang STIS. STIS yang sudah 54 tahun sangat
kalah tenar dengan Iqbal CJR. Miris. Tetapi saya jadi juga berpikir tentang apa
pengaruh ketenaran universitas terhadap semangat belajar yang timbul. Apakah
jika dulu saya diterima di universitas ternama lantas saya akan berubah total
menjadi kutu buku? Penuh semangat untuk mempelajari sesuatu? Saya sendiri juga
tidak yakin. Tetapi dengan diterimanya saya di perkuliahan yang bukan nomor
satu di negeri ini dalam hal ketenaran menjadikan saya merasakan ada motivasi
tersendiri yang mendorong saya untuk terus belajar. Belajar kehidupan pada
orang-orang luar biasa dari seluruh Indonesia. Mungkin Tuhan telah mengabulkan
doa orang tua saya dulu yaitu untuk memberikan universitas/perkuliahan yang
terbaik buat saya. Mungkin dulu ini bukan pilihan utama saya, tetapi saya
sekarang yakin kalau dulu saya memang hanya butuh waktu sedikit lebih lama
untuk meyakinkan diri saya kalau ini yang terbaik. Untuk meyakinkan diri saya
kalau orang tua apapun doanya pasti mereka mendoakan yang terbaik bagi kita.
Tidak perlu mereka ikut ribut-ribut mencari bimbel terbaik buat kita dengan
harapan kita bisa diterima di universitas terbaik, tetapi doa mereka itu sudah
lebih dari cukup. Bahkan bisa melebihi pengaruh bimbel terbaik di negeri ini.
Saya melamun di boncengan belakang motor yang saat itu Cahyo yang
mengemudikanya. Lamunan saya terbuyarkan dengan suara klakson motor di
belakang. Perjalanan dilanjutkan.
***
Sementara itu di tempat lain Husni dan Dwi
masih menjalankan kegiatannya. Tujuan saya dan Cahyo selanjutnya adalah SMANSA
Kebumen, sekolah kami dulu. Ada perasaan berbeda ketika saya akan mengunjungi
mantan sekolah saya dulu. Sekolah yang dulu kami banga-banggakan. Ada perasaan
grogi, senang bercampur jadi satu. Memori-memori SMA kembali tertata rapi di
benak saya. Kami tiba di sekolah. Ada yang berbeda, pintu gerbang pindah ke
bagian timur sekolah karena pintu gerbang utama sedang dibangun. Tetapi paling
tidak pintu gerbang ini tidak sulit untuk ditemukan. Semua masih tetap sama
setelah sekian lama saya tidak datang ke sekolah ini. Senyuman Pak Satpam masih
tetap sama seperti dulu menyambut di pintu masuk. Perasaan memasuki sekolah
juga masih tetap sama seperti dulu ketika saya masih sekolah di tempat ini,
berasa seperti ini masih sekolah saya. Memasuki pintu gerbang ada beberapa guru
yang sudah hendak pulang karena saat itu memang kami datang setelah bel pulang
sekolah. Mereka menyambut, kami bersalaman. Tidak hanya guru-guru tetapi juga
pak penjaga sekolah kami salami juga. Setelah ngobrol sedikit, kami langsung
menuju ke ruang guru untuk menemui Pak Wahyu, waka kurikulum, guru matematika
kami dulu. Dikarenakan ruang guru sedang direnovasi, ruangan berpindah ke ruang
kelas kami dulu kelas 12. Walaupun sedikit kecewa karena ruangan kelas saya
dipakai jadi ruang guru, kami tetap memasuki ruangan. Maksudnya jika ruang
kelas masih tetap seperti dulu kan makin lengkap acara nostalgia kami. Di ruang
guru masih terdapat banyak guru yang belum pulang, termasuk pak Wahyu. Kami
memasuki ruangan. Agak sedikit kaget karena kedatangan kami yang berseragam
berbeda dengan dulu yang masih SMA, mereka menyambut dengan berbagai perkataan.
“eh mas Cahyo gagah ya pake seragam” atau “mas lukman, itu celananya celana
OSIS SMA ya?” atau “ eh mas lukman sekarang udah gedhe ya, dulu pas saya ajar
kelas X masih kecil banget” (jangan bayangkan saya dulu hanya sebesar biji
kacang, kecil banget), dan berbagai kata-kata lain. Seluruh guru yang ada di
ruangan kami salami. Jika diambil gambar mungkin ini lebih mirip acara
salam-salaman lebaran atau acara pertemuan keluarga besar.
Bertemu Pak Wahyu, permintaan izin pun
dilakukan.
Cahyo : jadi gimana pak, kami diijinkan
sosialisasi di sini kan?
Pak Wahyu : Boleeh, boleeh.
Cahyo : tanggal 23 besok bisa pak?
Pak Wahyu : Bisaa, bisaa
Bu SL : kalo dari STIS malah sudah ditunggu
mas,
Cahyo : hehehe
Kesepakatan secara amat sangat singkat
didapatkan, sesingkat datangnya kembali memori-memori SMA kami di pikiran kami
saat kami berkunjung ke sekolah ini. It feels like home, when I’m standing
here. Setelah berbicara masalah sosialisasi, kami pun ngobrol-ngobrol dengan
bapak ibu guru sampai lupa waktu. Semakin lama saya berbincang dengan mereka,
semakin terasa jelas perasaan kalau saya masih sekolah di sini. Saya bisa
mengingat dengan jelas bagaimana mereka memperlakukan saya ketika pukul 08.30
saya baru mencapai sekolah dan memasuki kelas yang sudah dimulai dari pukul
07.00. Saya bisa mengingat dengan jelas pula bagaimana rasanya duduk di luar
pintu gerbang sekolah sendirian menunggu pintu gerbang dibuka, yaa karena
datang terlambat. Saya bisa mengingat dengan jelas bagaimana mereka mengajar,
bagaimana mereka membuat lelucon, bagaimana kami mengabaikan mereka dengan
tidak memperhatikan mereka bicara di depan kelas, bagaimana rasanya memakai
seragam identitas, dan memori-memori lain yang tertata rapi muncul di kepala.
Setelah puas bernostalgia di ruang guru, kami lanjut ke kantin bertemu dengan
bu kantin, pak penjaga sekolah, dan mbak-mbak kopersi sekolah, mereka juga kami
rindukan. Saya dan Cahyo makan di kantin yang rasa masakanya masih sama seperti
dulu sambil menunggu Husni dan Dwi yang sedang menuju ke sekolah ini. Saya
merasa beruntung mendapat jatah datang ke sekolah ini. Setidaknya saya memiliki
waktu lebih lama dari mereka berada di sini untuk mengenang masa-masa sekolah
dulu.
***
Masa muda. Masa yang berapi-api!!
Mengenai Saya
- Lukman Khakim
- jakarta, jakarta, Indonesia
- saya bukan tukang parkir. sumpah bang saya bukan tukang parkir, sehingga saya tidak pandai memparkir hati seseorang dan meletakannya di tempat yang benar.